Mengapa Pencairan JHT pada Usia 56 Perlu Ditolak

oleh
oleh

(Ilustrasi)

UPOS, Jakarta – Keputusan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menunda pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) hingga peserta berusia 56 tahun sesat logika. Dikutip melalui Editorial Tempo.co, Senin (14/2/2022).

JHT dikumpulkan dari upah pekerja, bukan berasal dari uang negara, sehingga pemerintah tidak punya hak untuk menahan dana tersebut.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang terbit pada 4 Februari 2022 lalu menyebutkan JHT merupakan manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

Aturan ini jelas mengabaikan kondisi riil sekarang. Di tengah pandemi Covid-19 yang merontokkan pelbagai sektor industri, nasib para pekerja serba tidak pasti. Mereka bisa sewaktu-waktu terkena pemutusan hubungan kerja, diminta berhenti, ataupun mengundurkan diri dan pensiun dini.

Kementerian Ketenagakerjaan berargumen, kebijakan tersebut untuk mengembalikan fungsi jaminan hari tua sebagai manfaat bagi pekerja setelah pensiun. Sebab, menurut Kementerian, bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja sudah ada program baru, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Penjelasan itu mengindahkan kondisi di lapangan, karena kriteria untuk mendapatkan JKP sungguh rumit. Tidak semua perusahaan mampu ataupun mau memenuhi kewajiban tersebut di tengah ketidakpastian usaha.

Masalah lain, jaminan kehilangan pekerjaan hanya berlaku bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara, pekerja yang kontraknya habis, mengundurkan diri, dan pensiun dini, tidak mendapatkan fasilitas tersebut.

Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik, dari sekitar 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan pada 2020, hanya 13,13 persen korban PHK. Sebanyak 14,35 persen habis kontrak dan sisanya berhenti bekerja karena berbagai alasan.

Walhasil, program JKP hanya akan bisa didapatkan oleh segelintir orang yang kehilangan pekerjaan. Jumlah yang mereka terima pun tergolong kecil dan hanya enam bulan.

Tiga bulan pertama 45 persen dari upah sebulan (dengan perhitungan maksimal upah Rp 5 juta) dan 25 persen dari upah sebulan untuk tiga bulan berikutnya. Bagaimana jika sampai lebih enam bulan korban PHK tersebut tidak mendapatkan pekerjaan?
Jika JHT bisa dicairkan seperti aturan sebelumnya, baik pekerja korban PHK maupun mereka yang mengundurkan diri, bisa menggunakan uang itu untuk membuka usaha dan kegiatan produktif demi menopang hidup.

Singkatnya, aturan pencairan JHT pada usia 56 tahun menggunakan logika sesat. Pemerintah seolah-olah bercita-cita pekerja sejahtera pada usia tua. Padahal, pemerintah sedang menjerumuskan pekerja dan keluarganya dalam kemelaratan di usia muda.

Tersebab berlapis-lapis kejanggalan, wajar muncul kecurigaan ada motif tertentu di balik penundaaan pencairan JHT. Salah satunya, untuk menutup kerugian besar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pengelola dana pekerja, yang hingga akhir 2021 mencapai Rp 553,5 triliun.

Badan Pemeriksaan Keuangan pada Februari 2021 lalu telah menemukan ada potensi kerugian negara akibat salah investasi periode 2017-2020 senilai Rp 38,16 triliun. Pembelian saham abal-abal memakai dana pekerja juga sudah dilaporkan ke Kejaksaan Agung pada Januari 2021.

Agar tidak semakin berlarut dan pemerintah tidak dituding sedang menutup kerugiaan lembaga pengelola JHT, Menteri Ida Fauziyah mesti secepatnya membatalkan peraturan penundaan pencairan dana pekerja tersebut. Pemerintah memang punya kewajiban menyelenggarakan sistem JHT yang apik. Tapi pencairan JHT yang dikutip dari peserta adalah hak peserta sepenuhnya. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.